sanjaya

sanjaya

Minggu, 28 Maret 2010

Shankaracharya Penjelmaan Dewa Siwa, Penerus Misi Buddha Gautama


Oleh: Suryanto, M.Pd
pg-079.jpg
Umat Hindu umumnya telah akrab dengan konsep penyatuan Atman dengan Brahman (Moksa). Juga terhadap konsep “Tat Tvam Asi” Namun, tidak banyak yang tahu bahwa konsep itu diajarkan oleh Adi Sankaracharya, yang diyakini sebagai penjelmaan Dewa Siwa. Shankara, begitu beliau lebih dikenal secara luas, mengemban misi besar untuk mengembalikan ajaran Weda yang seolah tenggelam karena berkembangnya agama Buddha yang diajarkan oleh Buddha Gautama. Benarkah Atman dapat menyatu dan lenyap ke dalam Brahman?
Apa artinya “moksa”? Kalau pertanyaan itu, diajukan pada orang Hindu, sebagian pasti akan menjawab : “Moksa adalah bersatunya Atman dengan Brahman. Moksa adalah keadaan di mana diri kita kembali bersatu dengan Tuhan“ Bersatu dengan Tuhan? Apanya yang bersatu, diri kita? Artinya, suatu saat “diri” kita akan lenyap dan “merger” dengan Tuhan? Jadi, roh akan berhenti mengalami punarbhawa (reinkarnasi) setelah ia “menjadi” Tuhan?
Sepertinya, tidak banyak di antara kita yang pernah mempertanyakan lagi kebenaran konsep moksa yang satu ini. Kita seolah sudah merasa nyaman dan pede memberikan jawaban yang telah baku dan memang populer itu. Apalagi, logika pemahaman moksa dalam artian penyatuan antara atman dan Brahman itu didukung oleh contoh-contoh rasional yang konkret. Atman diibaratkan sebagai air sungai yang mengalir ke laut, sedangkan Brahman diumpamakan sebagai lautan. Ketika air sungai telah berhasil mencapai lautan, maka terjadilah penyatuan keduanya.
Kita tidak akan bisa lagi membedakan, mana yang air sungai dan mana yang air laut. Begitulah, saat mencapai moksa, sang atman tidak akan dapat dibedakan lagi dengan brahman, …..seperti halnya air sungai yang “merger” dengan air laut itu. Roh akan “lenyap” dan “menyatu” dengan Tuhan.
Sekilas, perumpaan air sungai dan air laut itu memang memadai untuk menggambarkan apa yang dialami oleh roh setelah ia moksa. Tetapi, contoh itu hanya tepat bagi seorang awam, yang tidak memahami seluk beluk atom, molekul dan persenyawaan kimia!
Memang benar, secara kasat mata, air sungai dan air laut itu “kehilangan identitasnya” masing-masing setelah mereka bersatu. Namun, orang yang memahami konsep persenyawaan antara berbagai molekul zat akan melihat kenyataan lain. Ia akan tahu, bahwa molekul air sungai terdiri dari atom-atom Hidrogen dan atom-atom Oksigen. Rumus molekul air adalah H2O. Artinya, satu atom oksigen mengikat dua atom hidrogen untuk membentuk satu molekul air. Begitupun air laut memiliki unsur-unsur penyusun yang sama.
Ketika air sungai bertemu air laut, terjadilah reaksi antara atom-atom hidrogen dan oksigen air sungai, dengan atom-atom hidrogen dan oksigen air laut. Mungkin dua atom hidrogen air sungai akan berikatan dengan satu atom oksigen air laut dan membentuk molekul baru. Bisa pula, satu atom oksigen air sungai mengikat dua atom hidrogen air laut. Dan seterusnya, dan seterusnya. Tetapi, jangan lupa bahwa masing-masing atom itu tidak pernah kehilangan “identitasnya”. Kalau kita tandai masing-masing atom itu, akan tampak atom hidrogen air sungai tidak berubah menjadi atom hidrogen air laut. Begitupun sebaliknya. Mereka hanya berikatan satu sama lain, tapi tidak ada pihak yang kehilangan “jati dirinya.” Artinya, jati diri atom-atom air sungai tetap ada, tidak lenyap, meskipun ia “menyatu” dengan atom-atom air laut.
Begitu pula dengan Atman dan Brahman. Kalau memang benar bahwa Atman dapat “menyatu dan lenyap” ke dalam Brahman, hal itu akan bertentangan dengan sifat-sifat sang roh (atman) yang diuraikan dalam kitab-kitab Weda.
Weda menjelaskan bahwa sang roh adalah energi atau daya hidup yang kekal. Penjelasan seperti itu sangat sesuai dengan Hukum Kekekalan Energi dalam ilmu fisika. Bahwa energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, energi hanya dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Dengan demikian, roh tidak bisa musnah, tidak bisa lenyap atau kehilangan sifat individualitasnya. Ia hanya berpindah dari satu badan jasmani ke badan jasmani lainnya, sesuai dengan karmanya.
Dalam Kitab Bhagavad-gita 2.23 dan 2.24 Sri Krishna memperkuat penjelasan di atas, dengan menyatakan sebagai berikut:
nainaà chindanti çasträëi
nainaà dahati pävakaù
na cainaà kledayanty äpo
na çoñayati märutaù
acchedyo ’yam adähyo ’yam
akledyo ’çoñya eva ca
nityaù sarva-gataù sthäëur
acalo ’yaà sanätanaù
“Sang roh tidak pernah dapat dipotong menjadi bagian-bagian oleh senjata manapun, terbakar oleh api, dibasahi oleh air, atau dikeringkan oleh angin. Roh yang individual ini tidak dapat dipatahkan dan tidak dapat dilarutkan, dibakar ataupun dikeringkan. Ia hidup untuk selamanya, berada di mana-mana, tidak dapat diubah, tidak dapat dipindahkan dan tetap ada untuk selamanya.”
Jadi, jelaslah bahwa konsep Atman dapat menyatu dengan Brahman, lalu lenyap seperti yang sering dijelaskan itu sebenarnya kurang tepat. Contoh berikut mungkin akan lebih memperjelas kekeliruan konsep kita tentang moksa. Ada seekor burung yang bulu-bulunya berwarna hijau, lalu hinggap pada sebatang pohon yang daunnya rindang berwarna hijau pula. Sudah tentu, burung itu akan seolah-olah lenyap dan tampak “menyatu” dengan pohon itu. Orang yang kurang cerdas akan mengatakan bahwa burung itu telah mencapai “penyatuan” dan kehilangan jati dirinya. Padahal, bagaimana faktanya? Ya, jelas sekali. Burung berbulu hijau itu tidak pernah berubah menjadi pohon, ia tetap ada di ranting pohon itu, tidak kehilangan individualitasnya. Demikian halnya sang pohon. Keduanya tampak seolah-olah menyatu, hanya karena persamaan sifat, bukan karena yang satu menjadi yang lain.
Begitupula dengan sang roh (Atman), ia akan tetap menjadi percikan-percikan Tuhan yang bersifat kekal, dan tidak akan pernah dapat berubah menjadi Tuhan (Brahman).
Sebagaimana dinyatakan oleh Sri Krishna :” mamaivamso jiva-loke jiva-bhutah sanatanah” Para makhluk hidup di dunia yang terikat ini adalah bagian-bagian percikan yang kekal dari Diriku (Bhagavad-gita 15.7).
Lagi pula, air sungai masih akan ada kemungkinan untuk mengalami penguapan. Cahaya matahari akan membuat air laut menguap menjadi awan, lalu akan jatuh lagi ke daratan. Jadi, menyatunya Atman dengan Brahman, kalau memang hal itu terjadi, tidak akan bersifat kekal. Bukankah kita sendiri mengalami bahwa sifat roh adalah selalu giat? Bagaimana mungkin roh yang bersifat aktif dapat tinggal diam dalam kekosongan tanpa ada kegiatan? Dengan sifat aktif seperti itu, suatu saat roh akan jatuh lagi ke dalam lingkaran kelahiran dan kematian.
Bila kita lacak kembali asal usul ajaran penyatuan Atman dengan Brahman, kita akan temukan nama Adi Sankaracarya, salah seorang guru besar dan filosof yang sangat termasyur di India, dikenal sebagai pencipta filsafat Mayavada itu.
Lalu, mengapa Sankaracharya berbuat demikian? Mengapa beliau mengajarkan konsep yang berbeda dengan ajaran Weda yang sesungguhnya? Jawabannya, Sankaracharya memang mengemban tugas melanjutkan misi yang telah dirintis oleh Buddha Gautama.
Menurut Satsvarupa das Gosvami (1996) dalam Padma Purana terdapat uraian mengenai identitas Sankaracarya yang sebenarnya. Dia adalah penjelmaan Dewa Siwa yang mengemban misi khusus :
“Istriku Parvati, dengarlah penjelasan bagaimana aku menyebarkan kebodohan melalui filsafat Mayavada. Hanya dengan mendengarnya saja, bahkan seorang yang sangat maju sekalipun akan jatuh. Dalam filsafat ini, yang sebenarnya sangat menyesatkan bagi orang awam, Aku akan menafsirkan secara keliru makna sejati ajaran-ajaran Weda, dan menganjurkan seseorang untuk meninggalkan segala jenis kegiatan untuk mencapai pembebasan dari karma. Dalam filsafat mayavada itu, Aku menyatakan bahwa jivatma (sang roh) dan Paramatma (Tuhan) adalah tunggal dan memiliki sifat-sifat yang sama.
Istriku, pada jaman Kaliyuga nanti Aku akan menjelma sebagai seorang brahmana dan mengajarkan filsafat Mayavada itu. Untuk menipu para ateis (orang yang tidak percaya kepada Tuhan), aku menguraikan Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa sebagai tidak berwujud dan tidak memiliki sifat. Begitu pula, dalam menafsirkan Vedanta, Aku menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud, dan tidak berbentuk.”
Sewajarnya, orang lantas bertanya, mengapa Dewa Siwa berbuat demikian? Dalam Siva Purana, dijelaskan bahwa Dewa Siwa hanya menjalankan perintah. Sebagaimana kita ketahui, Buddha Gautama adalah penjelmaan Sri Wishnu yang telah mengajarkan agama Buddha dan menolak kebenaran kitab-kitab Weda. Para brahmana pada masa itu mengatasnamakan Weda untuk melakukan korban binatang atau mendirikan rumah potong hewan. Mereka juga mulai menyimpangkan ajaran Weda dengan memperkenalkan sistem kasta, yang menganggap bahwa hanya para brahmana yang boleh dan mampu mendekatkan diri kepada Tuhan. Karena itulah, tidak ada pilihan lain bagi Buddha Gautama, untuk menyelamatkan Weda, untuk sementara beliau menolak kebenaran Weda. Buddha Gautama mengajarkan ahimsa dan menghapuskan sistem kasta.
Buddha Gautama juga mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini adalah penderitaan, bahwa penyebab penderitaan itu adalah keinginan-keinginan duniawi kita, dan dengan menghapuskan seluruh keinginan, kita akan dapat mencapai nirwana, yaitu pembebasan dari kelahiran ke dunia ini. Buddha Gautama menolak untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan keberadaan Tuhan, tentang atman (roh), kehidupan setelah pembebasan, dan sebagainya. Ketika ditanya mengenai hal-hal seperti itu, Buddha Gautama akan menjawab “Tathagata (Buddha) bebas dari segala teori.” (Ravindrasvarupa, 1991).
Para pengikut Buddha selanjutnya menyebarkan doktrin sunya atau anätma, yang berarti “roh itu tidak ada”, namun semua itu adalah penafsiran yang bersifat duniawi dari “kebisuan” Buddha Gautama terhadap topik-topik spiritual. Fakta sederhananya adalah bahwa Buddha Gautama menolak kebenaran Weda, namun Beliau tetap setia pada ajaran Weda dengan cara menolak menciptakan “teori-teori” sendiri tentang Tuhan, tentang roh, dan sebagainya yang berbeda dari konsep-konsep Weda. Karena itulah Buddha Gautama “diam seribu bahasa” mengenai hal-hal itu.
Kesadaran masyarakat pada masa itu tercemari akibat makan daging, orang telah menjadi ateis. Namun Sang Buddha yang tidak pernah berbicara sepatah katapun mengenai Tuhan, berhasil memenangkan sikap patuh dan tunduk orang-orang itu kepada Beliau. Demikianlah, Sri Wishnu telah mensiasati dan menipu orang-orang yang ateis pada masa itu untuk memuja Tuhan dalam penjelmaannya sebagai Sang Buddha. Misi Buddha Gautama sukses, sebagian besar masyarakat India mengikuti ajaran Beliau dan memeluk agama Buddha.
Namun keberhasilan itu membawa bahaya tersendiri, yaitu hilangnya rasa hormat terhadap Weda, dan berkembangnya filsafat yang menolak keberadaan Tuhan dan keberadaan roh.
Kemunculan Buddha Gautama merupakan langkah awal untuk proses pelurusan kembali ajaran-ajaran Weda yang telah disimpangkan. Langkah berikutnya adalah dengan mengutus awatara Dewa Siwa untuk melakukan pelurusan lebih lanjut. Awatara itu tidak lain adalah Sripada Sankarãcãrya, yang lahir pada tahun 788 Masehi di wilayah bernama Kaladi, di Propinsi Kerala, India Selatan. Sankara, demikian nama pemberian dari kedua orang tuanya, lahir dari pasangan brahmana bernama Sivaguru dan Aryamba.
Pasangan ini telah lama menikah, namun tidak dikaruniai anak. Lalu mereka mengadakan pemujaan kepada Tuhan agar dikaruniai anak. Dikisahkan bahwa Dewa Siwa muncul dalam mimpi mereka. Dewa Siwa memberikan pilihan, apakah mereka ingin memiliki satu anak laki-laki yang berusia pendek namun akan menjadi ahli filsafat yang sangat termashyur di dunia, ataukah memilih dikaruniai banyak anak, namun mereka akan memiliki kemampuan biasa-biasa saja. Tentu pilihan pertama menjadi lebih menarik bagi pasangan brahmana itu. Nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya adalah Sankara. Adi Sankaracharya, demikian beliau kemudian dikenal secara luas, adalah nama yang diberikan sebagai tanda kehormatan.
Kata “Adi” di depan nama Sankara dalam bahasa Sanskerta adalah sebuah gelar kehormatan yang berarti “yang mulia”.
Sedangkan kata “acharya” adalah sebutan untuk seorang guru kerohanian yang sudah insaf akan dirinya. Telah menjadi sebuah tradisi Hindu bahwa kata gelar yang berada di belakang nama seseorang yang dihormati, biasanya akan ditulis menyatu dengan nama belakang itu. Demikianlah, Sankara mendapat gelar “acharya”, sehingga namanya menjadi “Adi Sankaracharya”
Ayahnya telah meninggal dunia ketika Sankara baru berusia 3 tahun, sehingga ibunya menyelenggarakan upacara upanayana (upacara yang menandai seorang anak mulai belajar Weda) baginya dengan bantuan saudara-saudaranya. Sankara mampu menguasai segala jenis cabang pengetahuan Weda dalam waktu singkat.
Banyak peristiwa atau kejadian ajaib yang dikisahkan sehubungan dengan masa muda Sankara. Sebagai seorang Brahmana muda, suatu hari ia pernah pergi meminta sedekah makanan dari rumah-rumah keluarga-keluarga yang ada di desanya. Seorang wanita yang sangat miskin, namun tidak ingin membiarkan Sankara pergi dari hadapannya dengan tangan hampa, akhirnya memberikan buah amla yang hampir membusuk, satu-satunya benda yang tersisa di rumahnya. Tersentuh oleh sifat kedermawanan dan melihat kemiskinan dari wanita itu, Sankara menyusun doa pujian kepada Dewi Laksmi, dewi kekayaan di depan pintu rumah wanita itu. Sebagai hasil dari doa tersebut, rumah wanita itu dipenuhi dengan emas.
Sejak masa mudanya Sankara telah memiliki keinginan yang kuat untuk memasuki tahap hidup sannyasa (tahap hidup pelepasan ikatan terhadap hal-hal duniawi). Dalam hidupnya Sankara tidak pernah mencita-citakan untuk menikah dan menjalani kehidupan berumah tangga, meskipun ibunya sangat mendambakan hal itu. Suatu hari, ketika sedang mandi di sebuah sungai, seekor buaya menggigit kakinya. Sankara merasa bahwa ia memang telah ditakdirkan untuk meninggal dunia pada saat itu juga, dan kemudian segera memutuskan untuk memasuki tahap hidup sebagai seorang sannyasa. Ibunya menyaksikan peristiwa itu. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh Sankara guna memperoleh ijin dari ibunya untuk menjadi seorang sannyasa. Kalau tidak, maka ia akan mati ditelan buaya itu.
Akhirnya dengan terpaksa ibunya memberikan restu, dan melupakan keinginannya agar Sankara menikah. Sankara berjanji kepada ibunya, bahwa walaupun ia seorang sannyas, kelak bila ibunya meninggal dunia, dia sendiri yang akan datang memakamkan jenasahnya.
Setelah dalam pikirannya Sankara memutuskan untuk memasuki tahap kehidupan pelepasan terhadap ikatan duniawi (sannyasa), tiba-tiba buaya tersebut melepaskan gigitan kakinya. Sejak saat itulah, secara tidak resmi Sankara memasuki tahap hidup sebagai sannyasa, dan memutuskan untuk mencari seorang guru yang akan mampu membimbing dan mengarahkannya.
Dalam pengembaraannya mencari seorang guru, Sankara tiba di tepi Sungai Narmada di India Tengah. Di sana, ia tiba disebuah ashram yang dipimpin oleh Govinda Bhagavatpada, murid dari Gaudapada yang termashyur dengan kitab karangannya, Mandukya Karikas. Kitab Mandukya Karikas dianggap sebagai kitab yang mulai memperkenalkan filsafat Advaita Vedanta. Sankara diterima sebagai murid secara rohani oleh Govinda Bhagavadpada, yang menganugerahinya dengan diksa sebagai sebagai sannyasa dalam tingkatan tertinggi, yaitu tahap paramahamsa.
Menyadari kecerdasan luar biasa yang dimiliki oleh muridnya, Govinda memerintahkan Sankara untuk menguraikan secara terperinci filsafat Vedanta dengan menyusun ulasan atau tafsiran terhadap Upanisad-upanisad terpenting, Brahma Sutra, dan Bhagavad-gita. Sankara memohon ijin gurunya untuk pergi melakukan perziarahan ke berbagai tempat suci di India, sambil menyusun ulasan-ulasannya terhadap kitab-kitab Upanisad.
Sangatlah besar sumbangan pemikiran Sankaracharya terhadap filsafat Vedanta dan kebangkitan kembali budaya India secara keseluruhan.
Secara garis besar, karya-karya Sankaracharya dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu
(1) Bhasya (ulasan terhadap prasthana trayi). Sankaracharya menulis ulasan terhadap 10 Upanisad, Brahma Sutra, dan Bhagavad-gita. Ketiga jenis kitab ini disebut sebagai tiga karya terpenting dalam filsafat Vedanta (prasthana trayi). Dewasa ini orang yang mempelajari Upanisad dan Brahma Sutra dianggap belum lengkap pengetahuannya, kalau belum membaca ulasan Sankaracharya. Gaya bahasa yang digunakannya juga begitu mudah dipahami, namun memiliki makna yang teramat luas serta mendalam; (2) Prakarana Grantha (ayat-ayat yang berisi uraian pendahuluan dalam mempelajari sebuah kitab); dan (3) Stotra (kumpulan mantra sebagai doa-doa pujian).
Selama 32 tahun usia hidupnya, Sankaracarya mengabdikan seluruh hidupnya untuk merestorasi dan meluruskan kembali ajaran-ajaran Weda. Sumbangan terbesar Sankaracarya adalah keberhasilannya mengalahkan filsafat agama Buddha yang telah membuat agama Hindu tenggelam pada masa itu. Sankaracarya melakukan debat-debat terbuka dengan para pendeta Buddha , dan berhasil membuktikan kebenaran ajaran Weda. Sankaracarya melakukan perjalanan ke seluruh wilayah India, dan mendirikan ashram-ashram besar di empat penjuru India, yaitu di utara di Badrinath, di selatan di Sringeri, di Barat di Dwaraka, dan di timur di Puri.
Sesuai dengan uraian tujuan Dewa Siwa menjelma sebagai Sankaracarya dalam Padma Purana dan Siwa Purana seperti yang dipaparkan di atas, maka dalam melakukan misinya Sankaracarya membuat berbagai penyesuaian.
Misalnya, untuk mengajak kembali para penganut Buddha agar menerima ajaran Weda, Sankaracarya melakukan kompromi dengan menciptakan penafsiran yang berlawanan dengan makna sesungguhnya ayat-ayat Weda. Buddha mengajarkan bahwa tidak ada Tuhan dan tidak ada atman, sedangkan
Weda jelas-jelas mengajarkan bahwa Tuhan itu ada, memiliki sifat personal. Sama halnya kalau kita ingin bertemu dengan presiden Amerika Serikat, mau tidak mau kita harus bertemu dengan “personal” atau “individu” yang menjabat sebagai presiden saat ini, yaitu George W. Bush. Kitab-kitab Purana dan Upanisad menyatakan bahwa Tuhan memiliki aspek personal dan aspek impersonal. Aspek personal Tuhan berarti bahwa Tuhan memiliki “wujud” atau “bentuk” rohani, yang berada diluar jangakuan nalar dan imajinasi manusia.
Bahkan dalam kitab Injil, Al-Quran, dan Taurat, terdapat ayat-ayat yang membuktikan bahwa Tuhan memang memiliki wujud atau bentuk rohani, meskipun ayat-ayat itu sering hanya memberikan keterangan yang samar-samar. Sebaliknya, dalam kitab-kitab Purana dan Upanisad, jelas-jelas disebutkan bahwa aspek tertinggi Tuhan adalah aspek bhagavan (Tuhan yang bersifat personal). Karena Buddha Gautama mengajarkan bahwa Tuhan itu tidak ada, maka Sankaracarya menegaskan bahwa Tuhan itu ada, namun tidak bersifat personal, Tuhan tidak memiliki bentuk atau wujud rohani. Konsep Tuhan yang tidak berwujud inilah yang lebih dikenal sebagai Brahman. Jadi Sankaracarya mengambil jalan tengah atau kompromi antara ajaran Buddha dan ajaran ketuhanan Weda, yaitu Tuhan ada, namun tidak berwujud!
Sankaracarya juga menegaskan bahwa atman itu ada, bahwa diri manusia sesungguhnya adalah “daya hidup” yang berada di dalam badan, yang dalam bahasa sehari-hari kita kenal sebagai roh.
Hal ini berlawanan dengan pandangan Buddha yang menyatakan roh itu tidak ada atau anatma. Untuk memperkuat konsep adanya roh itu, Sankaracarya memperkenalkan ajaran “TAT TVAM ASI” yang sering diartikan dengan “Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku”. Lalu konsep itu dikaitkan dengan salah satu ajaran dasar Weda lainnya yang menyatakan “AHAM BRAHMASMI” yang berarti “AKU ADALAH BRAHMAN”. Nah, penggabungan kedua ajaran ini menghasilkan pemahaman bahwa diri manusia sesungguhnya adalah Brahman, karena Sankaracarya menyebut Tuhan juga dengan kata “Brahman”.
Jadilah berkembang filsafat yang menganggap bahwa sesungguhnya manusia ini adalah Tuhan-Tuhan yang sedang tercemari kesadarannya, hingga jatuh ke dalam kehidupan material ini. Penyebab jatuh itu adalah ilusi atau maya. Jadi filsafat itu menyatakan bahwa manusia sesungguhnya adalah Brahman-Brahman yang sedang tertutupi oleh maya. Bila kita berhasil mencapai pembebasan, kita akan kembali menjadi Brahman, atau menyatu dengan Brahman. Itulah konsep moksa yang sering kita pahami. Karena itulah filsafat ini sering disebut filsafat Mayavada atau filsafat Mayavadi. Para pengikut filsafat ini menganggap semua manusia adalah sama, Tat Tvam Asi. Celakanya, mereka menganggap persamaan itu dalam bentuk “Aham Brahmasmi” sehingga mereka sering menyebut satu sama lain dengan sebutan “daridra narayana”. Narayana adalah nama lain dari Krishna atau Wishnu, Tuhan sesungguhnya. Sedangkan “daridra” artinya “kecil” atau “miskin”. Jadi “daridra narayana” artinya “narayana kecil” atau Tuhan yang sedang hilaf, kesadarannya tertutupi oleh maya, sehingga jatuh ke dunia ini. Nanti kalau sudah mencapai moksa, gelar “daridra” itu akan hilang, hingga tinggal gelar Narayana.
Tentu saja, filsafat itu patut dikritisi, karena menggelikan dan berisi unsur penghinaan. Mengapa? Menggelikan, karena menurut mereka Tuhan bisa lupa, tertutupi kesadarannya oleh maya (tenaga yang menghayalkan) sehingga jatuh ke dunia ini. Padahal maya adalah ciptaan Tuhan sendiri. Jadi, Tuhan macam apa yang bisa terjebak oleh tenaga ciptaan-Nya sendiri?? Lucu bukan? Masak Tuhan bisa kalah oleh maya.
Penghinaan pula, karena menganggap Tuhan sejajar dengan atman. Weda jelas-jelas menyebutkan bahwa atman tidak pernah menjadi Brahman. Jadi, perlu kita kaji ulang pengertian moksa sebagai “penyatuan Atman dengan Brahman.”
Semua itu adalah filsafat yang diajarkan oleh Adi Sankaracarya, dengan mengingat bahwa latar belakang masyarakat yang harus diajarinya adalah orang-orang Buddha yang memang tidak mengenal Tuhan. Sankaracarya mengemban misi tahap kedua untuk meluruskan ajaran Weda yang disimpangkan. Tahap berikutnya, menjelmalah Ramanujacarya, Madhvacarya, dan Caitanya Mahaprabhu yang akan kami bahas pada newsleter ini edisi mendatang.
Namun Sankaracarya sendiri adalah pemuja Narayana atau Krishna, yang terbukti dalam syairnya yang sangat terkenal berjudul Bhaja Govindam yang ditujukan untuk para pengikutnya sendiri.
bhaja govindam bhaja govindam
govindam bhaja mudha mate
sampraapte sannihite kaale
na hi na hi rakshati dukrinya-karane
“Nyanyikanlah nama Govinda (Krishna), sebut nama Govinda, bodoh! Pengetahuan lain yang kau kejar tak akan membantumu saat ajalmu tiba

Sabtu, 13 Maret 2010

KIDUNG DEWA YADNYA


 
  1. Kawitan Warga Sari - Pendahuluan sembahyang

    1. Purwakaning angripta rumning wana ukir.
      Kahadang labuh. Kartika penedenging sari.
      Angayon tangguli ketur. Angringring jangga mure.

    2. Sukania harja winangun winarne sari.
      Rumrumning puspa priyaka, ingoling tangi.
      Sampun ing riris sumar. Umungguing srengganing rejeng


  2. Pangayat - Menghaturkan sajen
    Kidung Warga Sari


    1. Ida Ratu saking luhur. Kawula nunas lugrane.
      Mangda sampun titiang tanwruh. Mengayat Bhatara mangkin.
      Titiang ngaturang pajati. Canang suci lan daksina.
      Sami sampun puput. Pratingkahing saji.

    2. Asep menyan majagau. Cendana nuhur dewane,
      Mangda Ida gelis rawuh. Mijil saking luhuring langit.
      Sampun madabdaban sami. Maring giri meru reko.
      Ancangan sadulur, sami pada ngiring.

    3. Bhatarane saking luhur. Nggagana diambarane.
      Panganggene abra murub. Parekan sami mangiring.
      Widyadara-widyadari, pada madudon-dudonan,
      Prabhawa kumetug. Angliwer ring langit.

  3. Pamuspan - Sembahyang
    Merdu - Komala


    1. Ong sembah ning anatha. Tinghalana de Triloka sarana.
      Wahya dyatmika sembahing hulun ijeng ta tan hana waneh.
      Sang lwir agni sakeng tahen kadi minyak sakeng dadhi kita.
      Sang saksat metu yan hana wwang hamuter tutur pinahayu.

    2. Wyapi-wyapaka sarining paramatatwa durlabha kita.
      Icantang hana tan hana ganal alit lawan hala-hayu.
      Utpatti sthiti lina ning dadi kita ta karananika.
      Sang sangkan paraning sarat sakala-niskalatmaka kita.

    3. Sasi wimbha haneng: ghata mesi banyu.
      Ndan asing suci nirmala mesi wulan.
      lwa mangkana rakwa kiteng kadadin.
      Ring angambeki yoga kiteng sakala.

    4. Katemun ta mareka sitan katemu.
      Kahidepta mareka si tankahidep.
      Kawenang ta mareka si tan ka wenang.
      Paramartha Siwatwa nira warana.

  4. Nunas tirtha - Mohon tirtha

    1. Turun tirtha saking luhur. nenyiratang pemangkune.
      Mekalangan muncrat mumbul. Mapan tirtha mrtajati.
      Paican Bhatara sami, panglukatan dasa-mala.
      Sami pada lebur. Malane ring gumi.
KIDUNG MANUSA YADNYA (PERKAWINAN)
  1. Kawitan Tantri - Pendahuluan.

    1. Wuwusan Bhupati. Ring Patali nagantun.
      Subaga wirya siniwi. Kajrihin sang para ratu.
      Salwaning jambu warsadi. Prasama hatur kembang tahon.

    2. Tuhu tan keneng api. Pratapa sang prabu Kesyani ruktyeng sadnyari.
      Sawyakti Hyang Hari Wisnu. Nitya ngde ulaping ari.
      Sri dhara patra sang katong.

    3. Wetning raja wibawa, mas manik penuh.
      Makinda yutan ring bahudanda. Sri Narendra, Sri Singapati,
      Ujaring Empu Bhagawanta. Ridenira panca-nana.
      Bratang penacasyan.
      Hatur Hyang Dharma nurageng bhuh.

    4. Kadi kreta yuga swapurneng nagantun Kakwehan sang yati.
      Sampun saman jayendrya. Weda Tatwa wit. Katinen de Sri Narendra.
      Nityasa ngruci tutur. Tan kasareng. wiku apunggung wyara brantadnya ajugul.


  2. Demung Sawit (bawak, dawa)

    1. Tuhu atut bhiseka Nrapati. Sri Eswaryadala.
      Dala kusuma patra nglung,
      Eswarya raja laksmi.
      Sang kulahamenuhi rajya.
      Kwening bala diwarga.
      Mukya sira.
      Kryana patih Sangniti Bandeswarya patrarum.

    2. Nityasa angulih- ulih amrih sutrepting nagara,
      lan sang paradimantriya.
      Tuhu widagda ngelus bhumi.
      Susandi tinut rasaning aji,
      Kutara manawa.
      Mwang sastra sarodrsti.
      Matangyan tan hanang baya kewuh.

    3. Pirang warsa Sri Nrapati Swaryadala.
      Tusta ngering sana.
      Kaladiwara hayu.
      Sri narapati.
      Lagya gugulingan ring taman.
      Ring yaca ngurddha angunggul.
      Yayamireng tawang.
      Tinum pyata tinukir.
      Kamala kinanda-kada.
      Langu inipacareng santun.

    4. Mangamyat kalangenikang nagara.
      Tisoba awiyar.
      Indra bhuwana nurun,
      Kweh tang pakwana titip.
      Pada kabhi nawa.
      Dening sarwendah linuhung.
      Liwar sukanikang wong.
      Anamtami kapti.
      Arumpuka sari sama angrangsuk bhusana aneka marum.

KIDUNG PITRA YADNYA
  1. Nedunang layon pacang nyiramang
    Menurunkan Jenazah untuk dimandikan

    Cewana - Girisa


    1. Ata sedengira mantuk sang suralaga ringayun.
      Tucapa aji wiratan. Karyasa nagisi weka.
      Pinahajongira laywan sang putra mala piniwa.
      Pada litu hajenganwam. Lwir kandarpa pina telu.

    2. Lalu laranira nasa sambat putranira pejah.
      Lakibi sira sumengkem ring putra luru kinusa.
      Ginamelira ginanti kang laywan lagi ginugah.
      Inutusira masabda kapwa ajara bibi aji.

  2. Nyiramang layon - Memandikan Jenazah.

    Bala - ugu.


    1. Bala ugu dina melah, manuju tanggal sasih.
      Pan Brayut panamaya. Asisig adyus akramas.
      Sinalinan wastra petak. Mamusti madayang batis.
      Sampun puput maprayoga, tan swe ngemasin-mati.

    2. Ikang layon ginosongan, ne istri tuhu satya, de pamayun matingkah.
      Eteh eteh sang paratra. Toya hening pabresihan.
      Misi ganda burat-wangi. Lengise pudak sategal.
      Sumar ganda mrbuk arum.

    3. Pusuh menuhe uttama. Malem sampun macawisan.
      Tekening edon intaran. Bebek wangi lengis kapur.
      Monmon mirah windusara. Waja meka panca datu.
      Don tuwung sampun masembar. Sikapa kalawan taluh.

    4. Buku-buku panyosalasan. Pagamelane salaka.
      Kawangene panyelawean. Gegalenge satak-seket.
      Sampun puput pabersihan. Winiletang dening kasa.
      Tikeh halus wijil jawa. Lante maulat panyalin.


  3. Mamarga ka setra - Pergi ke Kuburan

    Indra - wangsa


    1. Mamwit narendratmaja ring tapowana.
      Manganjali ryagraning indra parwata.
      Tan wis mrti sangka nikang hayun teka.
      Swabhawa sang sajana rakwa mangkana.

    2. Mangkat dateng toliha rum wulat nira.
      Sinambaying camara sangkaring geger.
      Panawanging mrak panangisnikungalas.
      Erang tininggal masaput-saput hima.

    3. Lunghang lengit lampahira ngawe tana.
      Lawan Sang Erawana bajranaryama.
      Tan warnanen decanikang katungkulan.
      Apan leyep muksa sahinganing mulat.


  4. Ngeseng Sawa - Memperabukan Jenazah.

    1. Sang atapa sakti bhakti, astiti purwa sangkara.
      Yan mati maurip malih. Wisesa sireng bhuwana.
      Putih timur abang wetan. Rahina tatas apadang.
      Titisning jaya kamantyan. Mapageh ta samadinira.

    2. Nghulun angadeg ring natar. Kamajaya cintanya.
      Sang atunggu parawean. Mawungu pakarab-karab.
      Ilangani dasa-mala, amrtang gangga asuci.
      Pamunggal rwaning wandira. Pinaka len prehanira.

    3. Yan sampun sira araup. Isinikang kundi manik.
      Anut marga kita mulih. Yan sira teka ring umah.
      Tutugaken samadinta. Sapangruwat sariranta.
      Isenikang pangasepan. Kunda kumutug samiddanya.

    4. Wewangen dadi tembaga. Rurube kang dadi emas.
      Arenge kang dadi wesi, Awune kang dadi selaka.
      Kukuse kang dadi mega. Yeh iku manadi ujan.
      Tumiba ring Mrecapada. Yeh iku dadi amretta.


  5. Rikala ngayut - Buang abu ke laut.

    1. Ring wetan hana telaga. Rikata hulun adyusa.
      Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
      Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sarira.
      Sakwehing malapataka. kalebura ring tanane.

    2. Ring kidul hana talaga. Rikata hulun adyusa.
      Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
      Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
      Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.

    3. Ring kulon hana talaga. Rikata hulun adyusa.
      Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
      Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
      Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.

    4. Ring lor hana talaga. Rikata hulun adyusa.
      Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
      Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
      Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.

    5. Ring madya hana talaga. Rikata hulun adyusa.
      Asalin raja bhusana. Anglebur awak tan porat.
      Hilanganing dasa mala. Sebel kandel ring sanra.
      Sakwehing malapetaka. kalebura ring tanane.

    6. Sampun ta sira abresih, anambut raja bhusana.
      Binurating sarwa sari. Mrebuk arum gandaning wang.
      Matur sira ring Hyang Guru. Sinung wara nugraha sira.
      Keasunganing mandi swara. Paripurna tur nyewana.


 

HINDU SEBAGAI AGAMA DUNIA


Agama Hindu akan menjadi agama dunia yang dominan pada abad 21 ini. Agama Hindu sedang berkembang menjadi agama universal yang sesungguhnya dan menjadi rumah bagi semua religiusitas yang murni. Penyebaran agama Hindu terutama tidaklah melalui para guru (spiritual) dan swami tapi melalui para intelektual dan penulis. Demikian dikatakan oleh Klaus K. Klostermaier, dalam bukunya A Survey Of Hinduism diterbitkan oleh State University of New York Press, 1989). Klaus K. Kostermaier, profesor dan kepala 'Department of Religion' di Universitas Manitoba, AS, tinggal selama 10 tahun di India untuk melakukan penelitian lapangan. Buku setebal 649 halaman termasuk catatan kaki, chronologi atas berbagai peristiwa penting dalam agama Hindu dan indeks, menyediakan informasi yang cukup lengkap tentang agama Hindu. Berikut tulisan yang diambil dari dua halaman terakhir dari buku tersebut.
Menurut Klostermaier, posisi dan dominasi agama Hindu pada abad 21 tidak bisa dilepaskan dari peran para pembaharu Hindu (Hindu Reformers) antara lain, untuk menyebut berapa nama saja :
  • Ram Mohan Roy, pendiri Brahmo Samaj (Masyarakat Tuhan), yang berhasil melakukan kampanye penghapusan 'sati'di India,
  • Dayananda Saraswati, pendiri Arya Samaj (Masyarakat Arya) suatu gerakan untuk memurnikan agama Hindu dengan kembali ke Weda,
  • Wiwekananda, pendiri Ramakrishna Mission, yang membawa agama Hindu ke Barat (Amerika Serikat),
  • MK. Gandhi, yang menjadi nabi bagi perjuangan tanpa kekerasan (ahimsa dan satyagraha) yang memberi insipirasi bagi pejuang pergerakan pembebasan di berbagai belahan dunia, seperti Martin Luther King Jr di Amerika Serikat dan Nelson Mandela di Afrika Selatan, serta perjuangannya untuk menghapuskan (diskriminasi terhadap) kaum Chandala yang disebutnya sebagai kaum Harijan atau anak-anak Tuhan;
  • Rabindranath Tagore, sastrawan Hindu terkemuka, yang melalui karya-karya sastra menyebar luaskan ajaran Upanishad, dan esei-esei sosial religusnya melakukan kritik terhadap praktek yang keliru serta mengangkat nilai universal Hindu.
  • Sarvepalli Radhakrishnan, filsuf Hindu terbesar abad 20 sampai ...
  • Sri Satya Sai Baba yang memiliki pengikut tidak saja dari orang-orang Hindu tetapi juga dari agama lain.
Para pembaharu ini dengan tiada kenal lelah mempelajari teks, menggali nilai-nilai abadi Hindu dan memberikannya tafsir baru sesuai dengan konteks zamannya.
Lalu apa sumbangan orang-orang Hindu di Indonesia, khususnya kaum mudanya - bagi kemajuan Hindu? Apakah kita orang-orang Hindu di Indonesia akan dapat memberikan sumbangan positif atau hanya menjadi beban bagi kemajuan Hindu?
NPP.
 
 

Senin, 08 Maret 2010

TEMPAT WISATA DI PULAU BALI




Musium Musium Bali(Denpasar)
Pantai Kuta
Pantai Sanur
Nusa Dua
GWK
Jati Luwih Jati Luwih(Tabanan)
Air Panas Penatahan
Tanah Lot
Alas Kedaton
Danau Bedugul
Kamasan Desa Wisata Kamasan(Klungkung)
Goa Gajah Goa Gajah Kamasan(Gianyar)
Tampak Siring
Pura Batubulan
Pasar Seni Sukawati
Desa Mas
Tirta Gangga(Karangasem)
Bukit Jambul
Taman Ujung
Jemeluk
Putung
Desa tradisional Desa Penglipuran(Bangli)
Desa Adat Trunyan
Kawasan Toyabungkah
Kawasan Batur Kintamani

7 PANTAI TERINDAH DI BALI

Bali merupakan pariwisata yang diakui oleh Seluruh Dunia akan keindahan alam dan kekayaan budayanya yang sangat kental, pantai di Balipun merupakan salah satu dari 10 pantai terbaik di Dunia, dimana dan apa sajakah pantai terindah dibali ini?

Padang Bai


























Pantai Padang Bai terletak di pelabuhan penyebrangan Bali – Lombok yaitu Padang Bai, pantainya cukup terjaga kebersihan dan keindahannya. Bagi pemancing dan para penyelam (diver) sangat suka dipantai ini. Karena biarpun bersebelahan dengan pelabuhan tetapi biota lautnya masih sangat terjaga dengan baik. Namun hati hati kalau mau menyelam disini, terkadang arusnya sangat kencang.

Pantai Legian dan Seminyak




Memang pantai yang terletak di utara pantai kuta mempunyai suasana yang sama dengan pantai Kuta, tetapi pantai di Legian dan Seminyak yang membedakan dengan pantai Kuta adalah kebersihan dan suasana yang tidak begitu ramai. Pantai legian dan seminyak ini merupakan tempat favorite memotret sunset saya, karena suasana sunset setiap harinya tidak pernah sama dan sangat unik.

Pantai Dreamland.



Pantai ini sangat disukai turis turis mancanegara, pasir putihnya membentang sangat luas. Dan karang karang besar memperindah pantai ini, salah satu pantai pasir putih di bali yang sangat indah dan eksotik. Hanya sayang akses ke tempat ini agak susah karena harus memasuki komplek perumahan mewah dan jalan yang sangat curam kebawah, agar berhati hati dikala musim hujan.

Pantai Sanur



Daerah sanur dan sekitarnya salah satu daerah wisata yang pertama berkembang di Bali, kita dapat merasakan suasana desa dengan kedamaian dibandingkan di daerah pantai yang lain. Semenjak direnovasi besar besaran Pantai sanur saat ini berubah menjadi pantai yang sangat cantik dan bersahabat. Banyaknya aktivitas dan resort2 yang berada didaerah sanur tersebut membuat Pantai Sanur salah satu pantai alternative yang layak dikunjungi.

Pantai Amed dan Tulamben




Pantai Amed dan Tulamben adalah pantai yang bersebelahan, hampir mirip karakter kedua pantai ini. Tetapi pantai amed masih sangat perawan dan tidak banyak turis domestic yang dating kesini. Pantai Tulamben sangat disenangi oleh para Diver yang ingin menyelam disini. Karena disini terdapat kapal perang US yang karam dan tidak terlalu dalam. Sehingga pantai ini adalah salah satu pantai yang eksotik dibali,

Pantai Lovina



Pantai yang terkenal yang terletak di utara pulau Bali, karakter pasir disini sedikit berbeda dipantai pantai bali lainnnya karena pasir hitamnya. Selain itu yang sangat terkenal di Pantai Lovina ini adalah setiap pagi kita bisa menyaksikan segerombolan Ikan Lumba – lumba yang bermain di pantai ini, untuk melihat lumba lumba ini kita bisa menyewa perahu nelayan yang bisa dipesan dihotel atau langsung ke nelayannya. Jangan lupa membawa lensa tele dan wide, karena bisa saja tiba tiba lumba lumba tersebut muncul disamping anda.

Pantai Candi Dasa




Disebelah timur Pulau Bali dan 2 perjalanan dari Denpasar anda akan menemui daerah wisata yang cukup dikenal yaitu candi Dasa, dan keindahan pantainya yang sangat memukau. Banyak kegiatan yang bisa dilakukan di pantai ini, salah satunya adalah snorkeling dan diving bisa anda lakukan disini.(Thanks To: Photo & Text by Barry Kusuma/http://alambudaya.blogspot.com)

Minggu, 07 Maret 2010

Isi Singkat Bancangah Pasek Gelgel

Bersabda lah Bhatara Brahma kepada saktinya Dewi Saraswati bahwa beliau menciptakan 2 orang yang bernama Witadharma dan Sang Ratu.
Sang Mpu Witadharma mempunyai seorang putra yang bernama sang Mpu Suradarma.
Mpu Suradarma mempunyai 3 putra yang bernama Mpu Lampita, Sang Mpu Ajnyana, dan Sang Mpu Pastika.
Sang Mpu Lampita menurunkan Sang Mpu Kuturan dan Mpu Pradah.
Mpu Pradah menjadi Bhagawan di Jawa (Kerajaan Daha) Mpu Kuturan melaksanakan Brahmacari dan gemar melaksanakan tapa brata.
Sedangkan Mpu Ajnyana menurunkan Sang Mpu Pananda yang bertempat di Desa Silayukti, wilayah Karangasem.
Setelah lama beliau di Silayukti lahirlah putranya Sang Mpu Jiwaksara.
Sang Mpu Jiwaksara ini sangat gemar belajar kerohanian.
Mpu Jiwaksara menurunkan Sang Mpu Ketek yang ahli dalam Mantra dan Weda.
Sang Mpu Ketek berputra Sang Arya Tatar memerintah di Majalangu.
Sang Arya Tatar setelah lama lahirlah putranya yang bernama Ki patih Ulung dan Ki Patih Ulung melahirkan Ki Semar, Ki Semar kawin dengan Wredani yang lahir adalah I Gusti Longan.
I Gusti Longan mempunyai 2 orang istri yang nantinya melahirkan I Gusti Pasek Gelgel, T Gusti Pasekan Denpasar dan I Gusti Pasek Tangkas.
Putranya yang lain ibu adalah I Gusti Pasek Toh Jiwa, Ki Gusti Pasek Nongan dan I Gusti Pasek Prateka.
Diceriterakan Sirarya Gajah Mada diutus oleh Raja Majapahit untuk menaklukkan Dalem Bedahulu yang memerintah di Bali.
Ki Pasek menerima Sirarya Gajah Mada dengan senang hati.
Perjalanan Sirarya Gajah Mada ke Bali diiringkan oleh Sirarya Kubon Tubuh, Sirarya Batan Jeruk, Kutawaringin, Sirarya Pinatih, Sirarya Dalancang Sirarya Kenceng, Sirarya Kabakaba, Sirarya Mangori Sirarya Pangalasan, Sirarya Pagatepan, dan Sirarya Gajah Para yang bertempat di Tianyar.
Juga para wesia mengiringkan Gajah Mada seperti Tan Kober, Tan Kawur, dan Tan Mundur yang tinggal di Abyan Semal, di Pacung, dan di Desa Cacahan.
Sang Mpu Ketek mengajarkan tata upacara upakara dan yadnya di Bali.
Kemudian I Gusti Pasek Gelgel berkata dengan Mpu Ketek dan bersedia mengantarnya ke Bali.
Perjalanan I Gusti Pasek Tohjiwa melalui pesisir pantai bumi Bali dan selanjutnya sampai di Samprangan.
Para pengiring Majapahit sampai di Swecapura dan Ida Dalem Ketut bergelar Ida Dalem Samprangan.
Ida Dalem Ketut mempunyai putra yang senang sekali berjudi.
Diceriterakan I Gusti Kubon Tubuh memerintah di Gelgel maka mohon agar Ida Dalem Samprangan diangkat menjadi raja di Gelgel.
Kemudian I Gusti Kubon Tubuh diutus mencari Ida Dalem Ketut Ngulesir yang sedang berjudi.
Setibanya Ida Dalem Ketut di Desa Banjaran Ayung dijemputlah oleh rakyat Gelgel yang menyampaikan Ida Dalem marah sehingga Ida Ketut menuju rumahnya I Kebon Tubuh dan di sana didirikan istana yang diberi nama Jero Agung.
I Gusti Pasek Gelgel menuruti perintah Dalem dan dengan hormatnya.
Dengan demikian putra I Gusti Pasek diberi nama Gede Bandesa.
Putra I Gusti Pasek dari selir yang bernama I Pasek Gaduh.
I Gusti Pasek Tangkas diangkat menjadi pengerah tenaga di Gelgel, dan anaknya diberi nama Pangeran Tangkas.
I Gusti Pasek Tohjiwa terkenal keberaniannya, ditugaskan untuk panglima perang, menolong rumah yang terbakar dan membinasakan segala musuh Ida Dalem.
Setelah I Gusti Pasek Tohjiwa berputra diberi nama I Pasek Dawuh Alang, I Pasek Bebetin, I Pasek Gobleg.
Juga putranya yang berada di gunung gunung diberi gelar Ngukuhin.
I Pasek Nongan ditugaskan sebagai Pemangku dan menuliskan prasasti prasasti, dan bila mana melahirkan diberi gelar I Pasek Sedahan, I Kabayan, I Panyarikan dan putranya yang lain diberi nama I Pasek Pangawi.
I Gusti Prateka ditugaskan melaksanakan upacara pengabenan, dan menentukan hari baik dan buruk, dan putranya yang lahir diberi nama Dane Wandu.
Ada putranya I Pasek Gelgel yang ditugaskan mengurus persubakan dan putranya ini diberi nama I Pasek Salahin.
Jadi segala tugas/ keadaan di Istana dipercayakan kepada I Gusti Pasek Gelgel.
Dengan kepercayaan ini, lalu para putra dari I Gusti Pasek diutus untuk mengatur wilayah di desa desa seperti I Bandesa di Ler Gunung, memerintah di Banyu Hening, di Kalianget seorang.
Dengan tunduknya kepada Dalem maka diberikan hadiah tanah sawah seluas 35 Hektar dan sebagainya.
Dengan demikian turunan I Pasek Gelgel agar mengetahui tentang pembangunan di Sad Kahyangan jagat yang merupakan warisan dari Mpu Kuturan dari Majapahit.

http://aa.wrs.yahoo.com/_ylt=A3xsfIGnJpRLhbcAOBPLQwx.;_ylu=X3oDMTByNWR0YzdzBHNlYwNzcgRwb3MDNARjb2xvA3NnMQR2dGlkAw--/SIG=12li4123j/EXP=1268086823/**http%3a//www.babadbali.com/pustaka/babad/bancangah-pasek-gelgel.htmhttp://aa.wrs.yahoo.com/_ylt=A3xsfIGnJpRLhbcAOBPLQwx.;_ylu=X3oDMTByNWR0YzdzBHNlYwNzcgRwb3MDNARjb2xvA3NnMQR2dGlkAw--/SIG=12li4123j/EXP=1268086823/**http%3a//www.babadbali.com/pustaka/babad/bancangah-pasek-gelgel.htm

Sejarah Agama Hindu


PENGANTAR
Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.
Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.
Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.
Sebagai Contoh: "Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu".
Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.
AGAMA HINDU DI INDIA
Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa.
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.
Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.
MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA
Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.
Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.
Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.
Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.
Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.
Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:
Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.
Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.
AGAMA HINDU DI INDONESIA
Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.
Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"
Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.
Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.
Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.
Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.
Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.
Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).
Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Direproduksi kembali dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra


Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini adalah bagian dari seri
Agama Hindu
Om
Topik
Mitologi · Kosmologi · Dewa-Dewi
Sejarah
Sejarah agama Hindu ·
Sejarah agama Hindu di Nusantara
Lima keyakinan dasar
Brahman · Atman · Karmaphala ·
Samsara · Moksa
Filsafat
Samkhya · Yoga · Mimamsa ·
Nyaya · Waisiseka · Wedanta
Susastra
Weda · Samhita · Brāhmana ·
Aranyaka · Upanisad
Hari Raya
Galungan · Kuningan · Saraswati ·
Pagerwesi · Nyepi · Siwaratri

Bali Omkara Red.png
Kumpulan artikel tentang Hindu
Agama Hindu (Bahasa Sanskerta: Sanātana Dharma सनातन धर्म "Kebenaran Abadi" [1]), dan Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran") adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini.[2][3] Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 milyar jiwa.[4]
Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain itu juga yang tersebar di pulau Jawa,Lombok, Kalimantan (Suku Dayak Kaharingan), Sulawesi (Toraja dan Bugis - Sidrap).

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Etimologi

Dalam bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sanskerta). [5] Dalam Regweda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan tujuh sungai di barat daya anak benua India, yang salah satu sungai tersebut bernama sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) — sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu.

[sunting] Keyakinan dalam Hindu

Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak Dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama Hindu, Dewa bukanlah Tuhan tersendiri. Menurut umat Hindu, Tuhan itu Maha Esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran filsafat Hindu, Adwaita Wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi sumber dari segala yang ada (Brahman), yang memanifestasikan diri-Nya kepada manusia dalam beragam bentuk.
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Pancasradha. Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
  1. Widhi Tattwa – percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
  2. Atma Tattwa – percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
  3. Karmaphala Tattwa – percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan
  4. Punarbhawa Tattwa – percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
  5. Moksa Tattwa – percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia

[sunting] Widhi Tattwa

Omkara. Aksara suci bagi umat Hindu yang melambangkan "Brahman" atau "Tuhan Sang Pencipta"
Widhi Tattwa merupakan konsep kepercayaan terdapat Tuhan yang Maha Esa dalam pandangan Hinduisme. Agama Hindu yang berlandaskan Dharma menekankan ajarannya kepada umatnya agar meyakini dan mengakui keberadaan Tuhan yang Maha Esa. Dalam filsafat Adwaita Wedanta dan dalam kitab Weda, Tuhan diyakini hanya satu namun orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama. Dalam agama Hindu, Tuhan disebut Brahman. Filsafat tersebut juga enggan untuk mengakui bahwa dewa-dewi merupakan Tuhan tersendiri atau makhluk yang menyaingi derajat Tuhan[6].

[sunting] Atma Tattwa

Atma tattwa merupakan kepercayaan bahwa terdapat jiwa dalam setiap makhluk hidup. Dalam ajaran Hinduisme, jiwa yang terdapat dalam makhluk hidup merupakan percikan yang berasal dari Tuhan dan disebut Atman. Jiwatma bersifat abadi, namun karena terpengaruh oleh badan manusia yang bersifat maya, maka Jiwatma tidak mengetahui asalnya yang sesungguhnya. Keadaan itu disebut Awidya. Hal tersebut mengakibatkan Jiwatma mengalami proses reinkarnasi berulang-ulang. Namun proses reinkarnasi tersebut dapat diakhiri apabila Jiwatma mencapai moksa[7].

[sunting] Karmaphala

Agama Hindu mengenal hukum sebab-akibat yang disebut Karmaphala (karma = perbuatan; phala = buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan dasar. Dalam ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil, baik atau buruk. Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib yang akan ia jalani sementara Tuhan yang menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun setelah reinkarnasi)[8].

[sunting] Punarbhawa

Punarbhawa merupakan keyakinan bahwa manusia mengalami reinkarnasi. Dalam ajaran Punarbhawa, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada kehidupannya yang terdahulu. Apabila manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya (baik atau buruk) yang belum sempat dinikmati. Proses reinkarnasi diakhiri apabila seseorang mencapai kesadaran tertinggi (moksa).

[sunting] Moksa

Dalam keyakinan umat Hindu, Moksa merupakan suatu keadaan di mana jiwa merasa sangat tenang dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya karena tidak terikat lagi oleh berbagai macam nafsu maupun benda material. Pada saat mencapai keadaan Moksa, jiwa terlepas dari siklus reinkarnasi sehingga jiwa tidak bisa lagi menikmati suka-duka di dunia. Oleh karena itu, Moksa menjadi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh umat Hindu.

[sunting] Konsep ketuhanan

Salah satu bentuk penerapan monoteisme Hindu di Indonesia adalah konsep Padmasana, sebuah tempat sembahyang Hindu untuk memuja Brahman atau "Tuhan Sang Penguasa".
Seorang perempuan Hindu Bali sedang menempatkan sesaji di tempat suci keluarganya.
Agama Hindu merupakan agama tertua di dunia dan rentang sejarahnya yang panjang menunjukkan bahwa agama Hindu telah melewati segala paham ketuhanan yang pernah ada di dunia.[9] Menurut penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh Agama Hindu terdapat beberapa konsep ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, politeisme, dan bahkan ateisme. Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai adalah monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita Wedanta), sedangkan konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme, monisme, politeisme) kurang diketahui. Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara menyeluruh.

[sunting] Monoteisme

Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta yang berarti "tak ada duanya". Selayaknya konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap bahwa Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman.
Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal namun juga tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula dari segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tunduk kepada Brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut, posisi para dewa disetarakan dengan malaikat dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri, melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai perantara Tuhan kepada umatnya.
Filsafat Adwaita Wedanta menganggap tidak ada yang setara dengan Brahman, Sang pencipta alam semesta. Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman hanya ada satu, tidak ada duanya, namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya yang maha kuasa. Nama-nama kebesaran Tuhan kemudian diwujudkan ke dalam beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti misalnya: Wisnu, Brahma, Siwa, Laksmi, Parwati, Saraswati, dan lain-lain. Dalam Agama Hindu Dharma (khususnya di Bali), konsep Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang Bali.

[sunting] Panteisme

Dalam salah satu Kitab Hindu yakni Upanishad, konsep yang ditekankan adalah panteisme. Konsep tersebut menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun tempat tinggal tertentu, melainkan Tuhan berada dan menyatu pada setiap ciptaannya, dan terdapat dalam setiap benda apapun[10], ibarat garam pada air laut. Dalam agama Hindu, konsep panteisme disebut dengan istilah Wyapi Wyapaka. Kitab Upanishad dari Agama Hindu mengatakan bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu, beliau tidak berada di surga ataupun di dunia tertinggi namun berada pada setiap ciptaannya.

[sunting] Ateisme

Agama Hindu diduga memiliki konsep ateisme (terdapat dalam ajaran Samkhya) yang dianggap positif oleh para teolog/sarjana dari Barat. Samkhya merupakan ajaran filsafat tertua dalam agama Hindu yang diduga menngandung sifat ateisme. Filsafat Samkhya dianggap tidak pernah membicarakan Tuhan dan terciptanya dunia beserta isinya bukan karena Tuhan, melainkan karena pertemuan Purusha dan Prakirti, asal mula segala sesuatu yang tidak berasal dan segala penyebab namun tidak memiliki penyebab[11]. Oleh karena itu menurut filsafat Samkhya, Tuhan tidak pernah campur tangan. Ajaran filsafat ateisme dalam Hindu tersebut tidak ditemui dalam pelaksanaan Agama Hindu Dharma di Indonesia, namun ajaran filsafat tersebut (Samkhya) merupakan ajaran filsafat tertua di India. Ajaran ateisme dianggap sebagai salah satu sekte oleh umat Hindu Dharma dan tidak pernah diajarkan di Indonesia.

[sunting] Konsep lainnya

Di samping mengenal konsep monoteisme, panteisme, dan ateisme yang terkenal, para sarjana mengungkapkan bahwa terdapat konsep henoteisme, politeisme, dan monisme dalam ajaran agama Hindu yang luas. Ditinjau dari berbagai istilah itu, agama Hindu paling banyak menjadi objek penelitian yang hasilnya tidak menggambarkan kesatuan pendapat para Indolog sebagai akibat berbedanya sumber informasi. Agama Hindu pada umumnya hanya mengakui sebuah konsep saja, yakni monoteisme. Menurut pakar agama Hindu, konsep ketuhanan yang banyak terdapat dalam agama Hindu hanyalah akibat dari sebuah pengamatan yang sama dari para sarjana dan tidak melihat tubuh agama Hindu secara menyeluruh[12]. Seperti misalnya, agama Hindu dianggap memiliki konsep politeisme namun konsep politeisme sangat tidak dianjurkan dalam Agama Hindu Dharma dan bertentangan dengan ajaran dalam Weda.
Meskipun banyak pandangan dan konsep Ketuhanan yang diamati dalam Hindu, dan dengan cara pelaksanaan yang berbeda-beda sebagaimana yang diajarkan dalam Catur Yoga, yaitu empat jalan untuk mencapai Tuhan, maka semuanya diperbolehkan. Mereka berpegang teguh kepada sloka yang mengatakan:
Jalan mana pun yang ditempuh manusia kepada-Ku, semuanya Aku terima dan Aku beri anugerah setimpal sesuai dengan penyerahan diri mereka. Semua orang mencariku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)[13]

[sunting] Pustaka suci

Ajaran agama dalam Hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di antara susastra suci tersebut, Weda merupakan yang paling tua dan lengkap, yang diikuti dengan Upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat Hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran Hindu adalah Tantra, Agama dan Purana serta kedua Itihasa (epos), yaitu Ramayana dan Mahabharata. Bhagawadgita adalah ajaran yang dimuat dalam Mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara luas, yang sering disebut sebagai ringkasan dari Weda.
Hindu meliputi banyak aspek keagamaan, tradisi, tuntunan hidup, serta aliran/sekte. Umat Hindu meyakini akan kekuasaan Yang Maha Esa, yang disebut dengan Brahman dan memuja Brahma, Wisnu atau Siwa sebagai perwujudan Brahman dalam menjalankan fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.
Secara umum, pustaka suci Hindu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kitab Sruti dan kelompok kitab Smerti.
  • Sruti berarti "yang didengar" atau wahyu. Yang tergolong kitab Sruti adalah kitab-kitab yang ditulis berdasarkan wahyu Tuhan, seperti misalnya Weda, Upanishad, dan Bhagawadgita. Dalam perkembangannya, Weda dan Upanishad terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil, seperti misalnya Regweda dan Isopanishad. Kitab Weda berjumlah empat bagian sedangkan kitab Upanishad berjumlah sekitar 108 buah.
  • Smerti berarti "yang diingat" atau tradisi. Yang tergolong kitab Smerti adalah kitab-kitab yang tidak memuat wahyu Tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan pemikiran dan renungan manusia, seperti misalnya kitab tentang ilmu astronomi, ekonomi, politik, kepemimpinan, tata negara, hukum, sosiologi, dan sebagainya. Kitab-kitab smerti merupakan penjabaran moral yang terdapat dalam kitab Sruti.
Krishna Dwaipayana Wyasa, seorang Maharesi yang mengklasifikasi kitab Weda.

[sunting] Weda

Weda merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala ajaran agama Hindu. Weda merupakan kitab suci tertua di dunia karena umurnya setua umur agama Hindu. Weda berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata vid yang berarti "tahu". Kata Weda berarti "pengetahuan". Para Maha Rsi yang menerima wahyu Weda jumlahnya sangat banyak, namun yang terkenal hanya tujuh saja yang disebut Saptaresi. Ketujuh Maha Rsi tersebut yakni:
  1. Resi Gritsamada
  2. Resi Wasista
  3. Resi Atri
  4. Resi Wiswamitra
  5. Resi Wamadewa
  6. Resi Bharadwaja
  7. Resi Kanwa
Ayat-ayat yang diturunkan oleh Tuhan kepada para Maha Rsi tersebut tidak terjadi pada suatu zaman yang sama dan tidak diturunkan di wilayah yang sama. Resi yang menerima wahyu juga tidak hidup pada masa yang sama dan tidak berada di wilayah yang sama dengan resi lainnya, sehingga ribuan ayat-ayat tersebut tersebar di seluruh wilayah India dari zaman ke zaman, tidak pada suatu zaman saja. Agar ayat-ayat tersebut dapat dipelajari oleh generasi seterusnya, maka disusunlah ayat-ayat tersebut secara sistematis ke dalam sebuah buku. Usaha penyusunan ayat-ayat tersebut dilakukan oleh Bagawan Byasa atau Krishna Dwaipayana Wyasa dengan dibantu oleh empat muridnya, yaitu: Bagawan Pulaha, Bagawan Jaimini, Bagawan Wesampayana, dan Bagawan Sumantu.
Setelah penyusunan dilakukan, ayat-ayat tersebut dikumpulkan ke dalam sebuah kitab yang kemudian disebut Weda. Sesuai dengan isinya, Weda terbagi menjadi empat, yaitu:
  1. Regweda Samhita
  2. Ayurweda Samhita
  3. Samaweda Samhita
  4. Atharwaweda Samhita
Keempat kitab tersebut disebut "Caturweda Samhita". Selain keempat Weda tersebut, Bhagawadgita yang merupakan intisari ajaran Weda disebut sebagai "Weda yang kelima".

[sunting] Bhagawadgita

Bhagawadgita merupakan suatu bagian dari kitab Bhismaparwa, yakni kitab keenam dari seri Astadasaparwa kitab Mahabharata, yang berisi percakapan antara Sri Kresna dengan Arjuna menjelang Bharatayuddha terjadi. Diceritakan bahwa Arjuna dilanda perasaan takut akan kemusnahan Dinasti Kuru jika Bharatayuddha terjadi. Arjuna juga merasa lemah dan tidak tega untuk membunuh saudara dan kerabatnya sendiri di medan perang. Dilanda oleh pergolakan batin antara mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna bertanya kepada Kresna yang mengetahui dengan baik segala ajaran agama.
Kresna yang memilih menjadi kusir kereta Arjuna menjelaskan dengan panjang lebar ajaran-ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang kesatria agar dapat membedakan antara yang baik dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang sangat terkenal yang bernama Bhagawadgita.
Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi ± 650 sloka. Setiap bab menguraikan jawaban-jawaban yang diajukan oleh Arjuna kepada Kresna. Jawaban-jawaban tersebut merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok ajaran Weda.
Salah satu ilustrasi dalam kitab Warahapurana.
Sebuah ilustrasi dalam kitab Mahabharata, salah satu Itihasa (wiracarita Hindu).

[sunting] Purana

Purana adalah bagian dari kesusastraan Hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-kisah zaman dulu. Kata Purana berarti "sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-kitab Purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 SM. Terdapat delapan belas kitab Purana yang disebut Mahapurana. Adapun kedelapan belas kitab tersebut yakni:
  1. Matsyapurana
  2. Wisnupurana
  3. Bhagawatapurana
  4. Warahapurana
  5. Wamanapurana
  6. Markandeyapurana
  7. Bayupurana
  8. Agnipurana
  9. Naradapurana
  1. Garudapurana
  2. Linggapurana
  3. Padmapurana
  4. Skandapurana
  5. Bhawisyapurana
  6. Brahmapurana
  7. Brahmandapurana
  8. Brahmawaiwartapurana
  9. Kurmapurana

[sunting] Itihasa

Itihasa adalah suatu bagian dari kesusastraan Hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan para raja dan kesatria Hindu di masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat agama, mitologi, dan cerita tentang makhluk supranatural, yang merupakan manifestasi kekuatan Brahman. Kitab Itihasa disusun oleh para Resi dan pujangga India masa lampau, seperti misalnya Resi Walmiki dan Resi Byasa. Itihasa yang terkenal ada dua, yaitu Ramayana dan Mahabharata.

[sunting] Kitab lainnya

Selain kitab Weda, Bhagawadgita, Upanishad, Purana dan Itihasa, agama Hindu mengenal berbagai kitab lainnya seperti misalnya: Tantra, Jyotisha, Darsana, Salwasutra, Nitisastra, Kalpa, Chanda, dan lain-lain. Kebanyakan kitab tersebut tergolong ke dalam kitab Smerti karena memuat ajaran astronomi, ilmu hukum, ilmu tata negara, ilmu sosial, ilmu kepemimpinan, ilmu bangunan dan pertukangan, dan lain-lain.
Kitab Tantra memuat tentang cara pemujaan masing-masing sekte dalam agama Hindu. Kitab Tantra juga mengatur tentang pembangunan tempat suci Hindu dan peletakkan arca. Kitab Nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Kitab Jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran sistem astronomi tradisional Hindu. Kitab Jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan peredarannya. Kitab Jyotisha digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya suatu musim.

[sunting] Karakteristik

Ritual Keagamaan Hindu di Candi Prambanan, Yogyakarta, Indonesia.
Dalam agama Hindu, seorang umat berkontemplasi tentang misteri Brahman dan mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya dan melalui penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan dari penderitaan manusia melalui praktik-praktik askese atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cinta kasih, bakti dan percaya (Sradha).
Umat Hindu juga menyebut agamanya sebagai Sanatana Dharma yang artinya Dharma yang kekal abadi.
Menurut kepercayaan para penganutnya, ajaran Hindu langsung diajarkan oleh Tuhan sendiri, yang turun atau menjelma ke dunia yang disebut Awatara. Misalnya Kresna, adalah penjelmaan Tuhan ke dunia pada zaman Dwaparayuga, sekitar puluhan ribu tahun yang lalu[14]. Ajaran Kresna atau Tuhan sendiri yang termuat dalam kitab Bhagawadgita, adalah kitab suci Hindu yang utama. Bagi Hindu, siapapun berhak dan memiliki kemampuan untuk menerima ajaran suci atau wahyu dari Tuhan asalkan dia telah mencapai kesadaran atau pencerahan. Oleh sebab itu dalam agama Hindu wahyu Tuhan bukan hanya terbatas pada suatu zaman atau untuk seseorang saja. Bahwa wahyu Tuhan yang diturunkan dari waktu ke waktu pada hakekatnya adalah sama, yaitu tentang kebenaran, kasih sayang, kedamaian, tentang kebahagiaan yang kekal abadi, tentang hakekat akan diri manusia yang sebenarnya dan tentang dari mana manusia lahir dan mau ke mana manusia akan pergi, atau apa tujuan yang sebenarnya manusia hidup ke dunia.

[sunting] Enam filsafat Hindu

Terdapat dua kelompok filsafat India, yaitu Astika dan Nastika. Nastika merupakan kelompok aliran yang tidak mengakui kitab Weda, sedangkan kelompok Astika sebaliknya. Dalam Astika, terdapat enam macam aliran filsafat. Keenam aliran filsafat tersebut yaitu: Nyaya, Waisasika, Samkhya, Yoga, Mimamsa, dan Wedanta. Ajaran filsafat keenam aliran tersebut dikenal sebagai Filsafat Hindu.



 
 
 
 
 
 
 
 
Filsafat India
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Nastika
 
 
 
 
 
Astika
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Buddha
 
Jaina
 
Carwaka
 
 
 
 
 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kelompok Astika yang ajarannya bersumber langsung kepada Weda
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kelompok Astika yang ajarannya tidak bersumber langsung kepada Weda
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Wedanta
 
Mimamsa
 
Yoga
 
Samkhya
 
Waisiseka
 
Nyaya
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Adwaita
 
Dwaita
 
Wisistadwaita
 
 



Keterangan:



Terdapat enam Astika (filsafat Hindu) — institusi pendidikan filsafat ortodok yang memandang Weda sebagai dasar kemutlakan dalam pengajaran filsafat Hindu — yaitu: Nyāya, Vaisheṣhika, Sāṃkhya, Yoga, Mīmāṃsā (juga disebut dengan Pūrva Mīmāṃsā), dan Vedānta (juga disebut dengan Uttara Mīmāṃsā) ke-enam sampradaya ini dikenal dengan istilah Sad Astika Darshana atau Sad Darshana. Diluar keenam Astika diatas, terdapat juga Nastika, pandangan Heterodok yang tidak mengakui otoritas dari Weda, yaitu: Buddha, Jaina dan Carvaka.
Meski demikian, ajaran filsafat ini biasanya dipelajari secara formal oleh para pakar, pengaruh dari masing-masing Astika ini dapat dilihat dari sastra-sastra Hindu dan keyakinan yang dipegang oleh pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.

[sunting] Konsep Hindu

Hindu memiliki beragam konsep keagamaan yang diterapkan sehari-hari. Konsep-konsep tersebut meliputi pelaksanaan yajña, sistem Catur Warna (kasta), pemujaan terhadap Dewa-Dewi, Trihitakarana, dan lain-lain.

[sunting] Dewa-Dewi Hindu

Pelaksanaan Ngaben di Ubud, Bali
Artikel utama: Dewa dalam konsep Hinduisme
Dalam ajaran agama Hindu, Dewa adalah makhluk suci, makhluk supernatural, penghuni surga, setara dengan malaikat, dan merupakan manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Kata “dewa” berasal dari kata “div” yang berarti “beResinar”. Dalam kitab suci Reg Weda, Weda yang pertama, disebutkan adanya 33 Dewa, yang mana ketiga puluh tiga Dewa tersebut merupakan manifestasi dari kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Di antara Dewa-Dewi dalam agama Hindu, yang paling terkenal sebagai suatu konsep adalah: Brahmā, Wisnu, Çiwa. Mereka disebut Trimurti.
Dalam kitab-kitab Weda dinyatakan bahwa para Dewa tidak dapat bergerak bebas tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa juga tidak dapat menganugerahkan sesuatu tanpa kehendak Tuhan. Para Dewa, sama seperti makhluk hidup yang lainnya, bergantung kepada kehendak Tuhan. Filsafat Advaita (yang berarti: “tidak ada duanya”) menyatakan bahwa tidak ada yang setara dengan Tuhan dan para Dewa hanyalah perantara antara beliau dengan umatnya.

[sunting] Sistem Catur Warna (Golongan Masyarakat)

Artikel utama: Sistem Golongan Masyarakat dalam Hinduisme
Dalam agama Hindu, dikenal istilah Catur Warna bukan sama sekali dan tidak sama dengan kasta. Karena di dalam ajaran Pustaka Suci Weda, tidak terdapat istilah kasta. yang ada hanyalah istilah Catur Warna. Dalam ajaran Catur Warna, masyarakat dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
  • Brāhmana : golongan para pendeta, orang suci, pemuka agama dan rohaniawan
  • Ksatria : golongan para raja, adipati, patih, menteri, dan pejabat negara
  • Waisya : golongan para pekerja di bidang ekonomi
  • Sudra : golongan para pembantu ketiga golongan di atas
Menurut ajaran catur Warna, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Catur Warna menekankan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Catur Warna terjadi suatu siklus “memberi dan diberi” jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya.

[sunting] Pelaksanaan ritual (Yajña)

Atikel utama: Yajña
Dalam ajaran Hindu, Yajña merupakan pengorbanan suci secara tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada para leluhur, kepada sesama manusia, dan kepada alam semesta. Biasanya diwujudkan dalam ritual yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan umat Hindu. Tujuan pengorbanan tersebut bermacam-macam, bisa untuk memohon keselamatan dunia, keselamatan leluhur, maupun sebagai kewajiban seorang umat Hindu. Bentuk pengorbanan tersebut juga bermacam-macam, salah satunya yang terkenal adalah Ngaben, yaitu ritual yang ditujukan kepada leluhur (Pitra Yadnya).

[sunting] Sekte (aliran) dalam Hindu

Jalan yang dipakai untuk menuju Tuhan (Hyang Widhi) jalurnya beragam, dan kemudian dikenallah para dewa. Dewa yang tertinggi dijadikan sarana untuk mencapai Hyang Widhi. Aliran terbesar agama Hindu saat ini adalah dari golongan Sekte Waisnawa yaitu menonjolkan kasih sayang dan bersifat memelihara; yang kedua terbesar ialah Sekte Siwa sebagai pelebur dan pengembali yang menjadi tiga sekte besar, yaitu Sekte Siwa, Sekte Sakti (Durga ), dan Sekte Ganesha, serta terdapat pula Sekte Siwa Siddhanta yang merupakan aliran mayoritas yang dijalani oleh masyarakat Hindu Bali, sekte Bhairawa dan Sekte - Sekte yang lainnya. Yang ketiga ialah Sekte Brahma sebagai pencipta yang menurunkan Sekte Agni, Sekte Rudra, Sekte Yama, dan Sekte Indra. Sekte adalah jalan untuk mencapai tujuan hidup menurut Agama Hindu, yaitu moksha (kembali kepada Tuhan), dan pemeluk Hindu dipersilahkan memilih sendiri aliran yang mana menurutnya yang paling baik/bagus.

[sunting] Toleransi umat Hindu

Agama ini memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di dalam kitab Weda dalam salah satu baitnya memuat kalimat berikut:
Sansekerta: एकम् सत् विप्रा: बहुधा वदन्ति
Alihaksara: Ekam Sat Vipraaha Bahudhaa Vadanti
Cara baca dalam bahasa Indonesia: Ekam Sat Wiprah Bahuda Wadanti
Bahasa Indonesia: "Hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai menyebut-Nya dengan banyak nama."
Rg Weda (Buku I, Gita CLXIV, Bait 46)

Dalam berbagai pustaka suci Hindu, banyak terdapat sloka-sloka yang mencerminkan toleransi dan sikap yang adil oleh Tuhan. Umat Hindu menghormati kebenaran dari mana pun datangnya dan menganggap bahwa semua agama bertujuan sama, yaitu menuju Tuhan, namun dengan berbagai sudut pandang dan cara pelaksanaan yang berbeda. Hal itu diuraikan dalam kitab suci mereka sebagai berikut:
samo ‘haṁ sarva-bhūteṣu na me dveṣyo ‘sti na priyah
ye bhajanti tu māṁ bhaktyā mayi te teṣu cāpy aham
(Bhagavad Gītā, IX. 29)
Arti:
Aku tidak pernah iri dan selalu bersikap adil terhadap semua makhluk.
Bagi-Ku tidak ada yang paling Ku-benci dan tidak ada yang paling Aku kasihi.
Tetapi yang berbakti kepada-Ku, dia berada pada-Ku dan Aku bersamanya pula



Ye yathā mām prapadyante tāms tathaiva bhajāmy aham,
mama vartmānuvartante manusyāh pārtha sarvaśah
(Bhagavad Gītā, 4.11)
Arti:
Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-Ku,
Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-Ku
dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)



Yo yo yām yām tanum bhaktah śraddhayārcitum icchati,
tasya tasyācalām śraddhām tām eva vidadhāmy aham
(Bhagavad Gītā, 7.21)
Arti:
Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang,
Aku perlakukan mereka sama dan
Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap



Meskipun ada yang menganggap Dewa-Dewi merupakan Tuhan tersendiri, namun umat Hindu memandangnya sebagai cara pemujaan yang salah. Dalam kitab suci mereka, kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda:
ye ‘py anya-devatā-bhaktā yajante śraddhayānvitāḥ
te ‘pi mām eva kaunteya yajanty avidhi-pūrvakam
(Bhagavad Gītā, IX.23)
Arti:
Orang-orang yang menyembah Dewa-Dewa dengan penuh keyakinannya
sesungguhnya hanya menyembah-Ku, tetapi mereka melakukannya
dengan cara yang keliru, wahai putera Kunti (Arjuna)
Pemeluk agama Hindu juga mengenal arti Ahimsa dan "Satya Jayate Anertam". Mereka diharapkan tidak suka (tidak boleh) membunuh secara biadab tapi untuk kehidupan pembunuhan dilakukan kepada binatang berbisa (nyamuk) untuk makanan sesuai swadarmanya, dan diminta jujur dalam melakukan segala pikiran, perkataan, dan perbuatan.

[sunting] Catatan kaki

  1. ^ Hindu juga dikenal dengan Hindū Dharma atau Vaidika-Dharma dalam beberapa bahasa India modern, seperti bahasa Hindi, Bbahasa Bengali, dan beberapa turunan Bahasa Indo-Arya, juga beberapa dialek Bahasa Dravida seperti Bahasa Tamil dan Bahasa Kannada
  2. ^ "Hinduism and the Clash of Civilizations" oleh David Frawley, Voice of India, 2001. ISBN 81-85990-72-7
  3. ^ Religion: Hinduism - National Geographic
  4. ^ Major Religions of the World Ranked by Number of Adherents, Adherents.com (data 2005)
  5. ^ "Meaning of Hindu"
  6. ^ "Bhagawadgita" menurut aslinya, oleh: Om A. C. B. S. Prabhupada
  7. ^ I Ketut Sukartha, dkk, "Widya Dharma Agama Hindu". Penerbit: Ganeça Exact
  8. ^ Cudamani, "Karmaphala dan Reinkarnasi". Penerbit: Hanuman Sakti
  9. ^ Ngakan Made Madrasuta, "Saya beragama Hindu". Penerbit: T.U. Warta Hindu Dharma, Denpasar
  10. ^ F.V. Bhaskara & Harry Isman, "Kamus populer lengkap". Penerbit: Citra Umbara, Bandung
  11. ^ I Gusti Agung Oka, "Slokantara"
  12. ^ Gede Puja, "Theologi Hindu", Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta, 1992
  13. ^ "Bhagawadgita". Bab IV sloka 11
  14. ^ Bhagawadgita. Bab IV sloka 7-8

[sunting] Bacaan lebih lanjut

Materi referensi yang dicantumkan di bawah ini, kebanyakan berupa buku dan materi cetak yang ditulis dalam Bahasa Inggris.

[sunting] Lihat pula

[sunting] Pranala luar